Minggu, 01 Januari 2012

Open House at Wisma Duta with the Abresso Band


I attended the Open House at the Wisma Duta (the residence of the Indonesian Ambassador) on 26 December in Wassenaar. This was an annual celebration of Christmas for Christian Indonesians in the Netherlands, and featured short speeches by and recognition for a number of prominent members of the community; free food; and live music by the Abresso Band from Papua, as well as karaoke Christmas songs sung by locals. The event was held in a couple of tents set up in the Wisma Duta's back yard. A prayer service (which I did not attend) was held in the morning before the reception.

There were many Chinese Indonesians in attendance, some students, and a good number of Indonesian-Dutch couples and their children.

Searching around on line, the Abresso Band seems to be one of Indonesia's most celebrated reggae bands. It was flown in explicitly for this event at the Wisma Duta, though it will be doing one more public gig in Groningen later this week as well.

The band played well (I thought the bass player was particularly good) but was hardly 'hard core' reggae and happily played Christmas numbers (some accompanying local singers), poco-poco and the like.

Also announced was the name of the new ambassador to Den Haag, Retno Lestari Priansari Marsudi, best known as the investigator charged with looking into the death of human rights activist Munir in the Netherlands in 2004. In interviews, Retno Marsudi talks about herself as a true Javanese who listens to gamelan music to unwind. Let's hope she also supports Javanese arts when Ambassador.

Black Brothers Grup Tersohor dari Papua

Kehadiran musisi-musisi berbakat dari wilayah paling Timur Indonesia di Jakarta pada awal 1976 sangatlah tepat. Saat itu memang dunia industri musik dan kegiatan pertunjukan musik rock sangat terbuka untuk menampung kreativitas para musisi.

Kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh sekumpulan musisi muda dari Papua yang menamakan grupnya Black Brothers. Grup ini didukung oleh Benny Betay (bass), Jochie Phiu (keyboard), Amry Tess (trompet), Stevie MR (drums), Hengky (lead guitar), Sandhy Betay (vokal), Marthy Messet (lead vocal), dan David (saxophone). Formasi grup ini juga dilengkapi dengan seorang manajer, Andi Ayamiseba untuk memudahkan mereka berkiprah secara profesional.

Dengan komposisi yang cukup solid ini, tidaklah sulit bagi Black Brothers mengawali karier mereka di tengah hiruk pikuknya musik rock di Tanah Air. Setelah bermukim di Jakarta beberapa pekan (1976), mereka sudah mengikat kontrak main di sebuah restoran Jakarta. Ini berkat kepiawaian sang manajer melihat peluang di beberapa cafe dan resto yang cocok untuk warna musik Black Brothers dengan warna musik rock dan R&B yang mereka mainkan. Sebagai seorang manajer grup musik, ia melengkapi kebutuhan grupnya dengan pasukan musik tiup agar dapat memberikan ciri dan warna khas yang lebih nyata dari grup Black Brothers sekaligus cepat dikenal.

Berada di Jakarta, mereka pun mulai dilirik pihak produser rekaman untuk merealisasikan hasil karya cipta mereka yang sebelumnya telah ada. Di bawah label rekaman PT Irama Tara, Jakarta, maka Black Brothers melangkah lagi menuju dunia rekaman. Sang manajer Andy Ayamiseba mengatakan bahwa hal itu merupakan target utama mereka sejak awal.

Bak gayung bersambut, Hartono Hendra, sang manajer Irama Tara merespons dengn antusias rekaman perdana ini dengan dalih untuk menyejajarkan musisi Papua agar lebih maju dan dikenal ke seluruh Indonesia.

Kekuatan
Kekuatan musik Black Brothers dibandingkan dengan grup musik lainnya adalah mereka dapat memainkan beragam warna musik, mulai dari pop, rock, jazz, blues, bahkan dangdut. Hal ini tidaklah mengherankan, karena sebelum Black Brothers terbentuk beberapa personelnya merupakan musisi yang bergeliat dengan musik entertainment yang ada di klab-klab malam di Irian maupun Manado.

Melambungnya nama Black Brothers pascaalbum perdananya yang diberi judul Irian Jaya I, tidak dibarengi dengan citra positip sebagai pendatang baru. Pasalnya, dalam album perdana itu mereka memasukkan satu judul lagu Kisah Seorang Pramuria sebagai salah satu nomor andalan yang jauh sebelumnya telah dipopulerkan oleh grup The Mercys lewat vokal Charles Hutagalung untuk album mereka yang pertama. Dalam kasus ini sempat diisukan bahwa Black Brothers hanyalah sebagai grup yang mendompleng nama besar grup-grup yang sudah terkenal. Alhasil, Hengky M.S yang saat itu dalam formasi Black Brothers selain sebagai gitaris juga vokalis utama, segera melakukan klarifikasi. Ia mengatakan, '' Sebetulnya lagu itu punya kami sendiri. Saya yang mencipta. Saya buat pada 1972, ketika saya masih satu grup dengan Eddy Sumlang (adik Albert Sumlang, saxophonist the Mercys saat itu) dalam grup Galaxy's 69 di Sorong, Papua.'' Oleh Eddy lagu tersebut diambil dan dibawa ke Jakarta. Tak heran jika setelah itu ,lagu tersebut disebut-sebut sebagai ciptaan Albert Sumlang, dan Hengky M.S sendiri baru mengetahuinya setelah rekaman grup The Mercys tersebut baru beredar di wilayah Papua (1974).

Sukses dalam rekaman, rupanya semakin menambah antusias pecinta musik di Tanah Air terhadap Black Brothers, mengingat nama Black Brothers pada awal terbentuknya disebut-sebut sebagai grup musik rock. Maka atas prakarsa sekumpulan mahasiswa Papua yang ada di Jakarta, pada 28 Desember 1976 di Istora Senayan Jakarta, Black Brothers di-duel meet-kan dengan grup SAS, asal Surabaya yang kala itu memang sedang melejit sebagai rock trio tangguh selain Superkid, Bandung. Yang patut dicungi jempol kepada grup ini, yaitu mereka cukup percaya diri dengan membawakan lagu ciptaan sendiri bertajuk Huambello sebagai lagu pembuka dengan lirik berbahasa Papua dan diaransir dengan warna musik hardrock yang cukup kental.

Semakin tersohor
Kekuatan lirik dan aransemen musik Black Brothers cukup mengundang simpati masyarakat pencinta musik Indonesia, baik melalui rekaman maupun dalam tampilan di panggung, membuat sang manajer Andy Ayamiseba mendapat inspirasi baru. Untuk menggebrak pentas-pentas pertunjukan dalam warna rock, ia tetap mempertahankan nama Black Brothers sebagai grup musik panggung. Sedangkan untuk memainkan musik-musik entertainment diberbagai klab malam di belahan kota Jakarta, ia mencomot beberapa musisi asal Papua lainnya untuk membentuk grup baru.

Tak heran tawaran untuk pentas-pentas live semakin meningkat. Apalagi ketika dalam suatu acara pertunjukan musik di Gelora Saparua, Bandung pada akhir Januari 1977, grup ini ditampilkan bersama grup rock tuan rumah, Freedom yang dimotori oleh rocker kawakan Soleh Soegiarto dan grup Bani Adam,yang belum lama terbentuk dengan vokalis Faried Hardja.

Di sini Black Brothers sudah mulai mengurangi dominasi unsur-unsur musik tiup (horn section) untuk lebih berkonsentrasi ke warna musik rock yang mereka mainkan. David Bethay, sang vokalis Black Brothers, berhasil memancing kepuasan penonton dengan lagu Huambello yang pernah mereka tampilkan sewaktu bersama grup SAS di Jakarta sebelumnya. Dengan mengenakan kostum tradisionil koteka, para personel Black Brothers terlihat sangat alami sekali untuk ukuran kostum suatu grup rock dalam pertunjukan musik.

Sukses dengan album perdana, mereka pun meneruskan rekaman album kedua lewat musik yang lebih beragam dengan judul album Hari Kiamat. Album kedua ini pun menuai sukses, seperti album pertama, terlebih lagi mereka memasukkan lagu tradisionil Huambello dalam album ini. Begitu seterusnya sampai album-album berikutnya , semuanya mereka kerjakan di bawah label Irama Tara.

Kehadiran grup musik dari Timur Indonesia ini membangkitkan rasa musikalitas para musisi lain untuk mengikuti jejak pendahulunya. Tak heran jika grup-grup musik, seperti Black Papas, Black Sweet, Black Power, dan bahkan Black Family yang notabene menggunakan awalan 'black' lebih mencirikan tempat asal mereka terbentuk di tanah Papua. Padahal, grup musik rock yang lebih berkibar namanya setelah era Black Brothers, juga berasal dari tanah Papua ini, justru grup Airmood (tanpa pakai embel-embel nama 'black' untuk grupnya). hingga Abresso Band.

Setelah itu Black Brothers mulai Go Internasional dengan menjajaki dan menguasai pasar Musik di Pasifik juga ke Eropa. ( Next Session )

DISKOGRAPHI
Album Grup:

1. Kisah Seorang Pramuria (Vol 1) Irama Tara
2. Derita Tiada Akhir (Vol 2) Irama Tara
3. Lonceng Kematian (Vol3) Irama Tara
4. Hilang Irama Tara
5. Nuru Aipani (lagu daerah Irian Jaya) Irama Tara
6.
Oh Inanekeke (spesial senam nonstop) Irama Tara
7. Sajojo (spesial senam) Irama Tara
8. Mula Wakeke (west Papua) Irama Tara
Album The Best:
1. 14 Lagu Terbaik Irama Tara
2. 22 Spesial Album Irama Tara
3. Black Brothers (album Yuanita Budiman) Irama Tara


Sumber : Republika, Selasa, 15 Juli 2008